14 Desember 2007

DPRD Cilacap Klarifikasi Predikat Kota Terkorup Kedua

CILACAP - Karena dinyatakan sebagai daerah terkorup nomor dua di Jawa Tengah, DPRD Kabupaten Cilacap hari ini melakukan klarifikasi kepada Komisi Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN).KP2KKN adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat di Semarang yang memonitoring kasus-kasus dugaan korupsi di Jawa Tengah.Enam wakil rakyat itu mendatangi kantor KP2KKN di Jalan Sriwijaya Semarang dan diterima para pengurus KP2KKN. "Kami ingin mengetahui sejauh mana kebenaran dari monitoring yang dilakukan KP2KKN," kata Sekretaris Komisi A DPRD Cilacap Suwarsono hari ini.

Suwarsono menyatakan klarifikasi ini bagian dari penelusuran dugaan kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa dinas peemrintahan di Cilacap, seperti Dinas Pertambangan. "Kami akan segera panggil dinas-dinas yang diduga melakukan korupsi," katanya.Suwarsono juga belum berani membenarkan atau menyalahkan hasil monitoring yang dilakukan KP2KKN. "Kami belum tahu karena semuanya masih kabur," katanya. Namun, Suwarsono mengatakan bahwa apa yang dilakukan KP2KKN sangat positif bagi upaya pemberantasan korupsi.

Hasil monitoring KP2KKN menyebutkan Kabupaten Cilacap merupakan juara dua korupsi dengan nilai kerugian Rp 107,906 miliar, sedangkan juara pertama adalah Demak dengan kerugian negara sebesar Rp 121,954 miliar. Adapun nomor tiga adalah Kendal Rp 79,704 miliar, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Rp 70,379 miliar, dan Kota Semarang Rp 34,212 miliar.Sekretaris KP2KKN Jabir Al Faruqi mengakui bahwa hasil monitoring yang dilakukan lembaganya baru sebatas praduga. "Karena kasus tersebut belum masuk dalam pengadilan. Selain itu, KP2KKN juga bukan lembaga yang berhak memvonis," kata Jabir.Salah satu pejabat KP2KKN, Novel Ali, berharap agar klarifikasi yang dilakukan DPRD Cilacap ini menjadi contoh model dalam mengungkap korupsi yang terjadi. "Saling cek untuk menelusuri kasus korupsi," kata Novel. [Sumber : Tempo Interaktif, 14 Desember 2007]

12 Desember 2007

Kejari Tak Serius Tangani Dugaan Korupsi Cilacap

CILACAP - Keseriusan pemberantasan korupsi di Kabupaten Cilacap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dinilai belum menunjukan hasil yang berarti. Buktinya dalam kurun tahun 2007 ini tidak ada tindakan nyata dari para penegak hukumnya dalam hal ini Kejaksaan negeri dan Polres.

Bahkan hanya sekedar sosialisasi hasil penyidikan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi di lingkungan pemkab Cilacap pun jarang dilakukan. Kejari terkesan tidak serius dalam menindaklanjuti dugaan kasus-kasus tersebut.
Demikian disampaikan Koordinator Umum Lingkar Study Advokasi Kebijakan (eLsak) Cilacap, Muhamad Wahidin dalam orasinya saat menggelar unjukrasa di halaman kantor Setda Cilacap, Selasa (11/12).

"Bahkan situasi yang ada kami nilai cenderung potensial bagi anggota Kejari Cilacap untuk menjadikan para koruptor sebagai lahan empuk untuk memperkaya diri sendiri. Sementara semua dibiarkan berlalu dan selesai hanya dengan penyelesaian pribadi. Intinya pihak Kejari tidak serius," tandas Muhamad Wahidin.

Dalam selebaran yang dibagikan para demonstran, juga memuat fenomena dugaan korupsi yang terjadi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) setempat. Korlap Sukron Roy Maksudi lebih lanjut menyampaikan dugaan adanya tindak pidana di tubuh dinas P dan K seperti penyelewengan dana pengadaan buku mata pelajaran yang dianggarkan dalam APBD 2006 sebesar Rp 10 miliar.

Belum lagi mengenai dana alokasi khusus (DAK) pendidikan 2006-2007 dan dana bantuan operasional sekolah (BOS) serta sejumlah penyelewengan lainnya. Aksi unjukrasa belasan mahasiswa yang tergabung dalam eLsak ini digelar sebagai bentuk keprihatinan mereka dalam peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia 2007. Dalam pernyataan sikapnya mereka mendesak Kejaksaan Negeri Cilacap untuk segera melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi yang terjadi di Dinas P dan K maupun dinas instansi lain di lingkungan Pemkab Cilacap.

Oknum koruptor yang ada di P dan K juga harus ditindak tegas jika terbukti melakukan penyimpangan. Selain itu, Kejari juga diminta mensosialisasikan hasilhasil penyidikan dugaan tipikor di P dan K kepada masyarakat umum.Dengan kawalan ketat puluhan petugas Polres dan Pol PP Kabupaten Cilacap, sekitar 15 menit kemudian, massa berjalan kaki menuju kantor Kejari. Orasi dan pembacaan pernyataan sikap kembali mereka lakukan di kantor Kejaksaan, hingga 15 menit berikutnya mereka membubarkan diri. [Sumber : Wawasan, 12 Desember 2007]

11 Desember 2007

Hasil Monitoring KP2KKN Jateng : Semarang Terkorup, DPRD Terkotor

SEMARANG - Kota Semarang kembali mendapat predikat kota terkorup di Jateng pada 2007. Ini mengacu hasil monitoring kasus korupsi yang dikeluarkan KP2KKN (Komite Penyidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) Jateng. Dalam paparannya, KP2KKN menyebut, dari 324 kasus korupsi di seluruh kabupaten/kota di Jateng pada 2007, Kota Semarang masih menduduki peringkat teratas dengan jumlah korupsi sebanyak 21 kasus (6,48 persen). Peringkat kedua disandang Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal dengan 17 kasus korupsi (5,25 persen). Disusul peringkat Kota Salatiga dan Kabupaten Tegal (Slawi) dengan 16 kasus korupsi (4,4 persen).

Ironisnya, kerugian yang ditanggung negara akibat kasus korupsi tersebut tak semuanya terdeteksi. Kasus yang telah ditetapkan kerugian negara hanya berjumlah 209 kasus (65 persen). Sementara sisanya, 115 kasus (35 persen) belum terdeteksi. Dari kasus yang terdeteksi tersebut, negara menderita kerugian lebih dari Rp 773,5 miliar.Kerugian negara tertinggi akibat kasus korupsi diderita Kabupaten Demak, lebih dari Rp 121.954.000.000. Disusul Kabupaten Cilacap dengan kerugian negara lebih dari Rp 107.906.000.000 dan Kabupaten Kendal sebesar Rp 79.704.000.000. Jawa Tengah, ungkap KP2KKN, menduduki tempat keempat dengan kerugian negara Rp 70.378.000.000,00. Sedangkan Kota Semarang berada di posisi kelima tingkat nasional dengan nilai kerugian negara Rp 34.212.000.000.

Koordinator Penelitian dan Monitoring KP2KKN Joko J Prihatmoko membeber, hasil monitoring pihaknya hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di daerah-daerah di wilayah Jateng. Ia mengibaratkan mirip puncak gunung es. Jika ditelusuri lebih jauh, kata Joko, realitas dan kondisi korupsi yang terjadi jauh lebih banyak dan komplek. "Namun hal itu tak sepatutnya menjadi alasan untuk mengendorkan niat dalam mengungkap dan menangani kasus-kasus korupsi," katanya mengingatkan. Hasil monitoring kasus korupsi 2007, lanjut Joko, tak berbeda jauh bahkan cenderung sama dengan tahun sebelumnya.

Pada 2006 lalu, Kota Semarang juga menduduki peringkat pertama untuk jumlah kasus tertinggi. Yang berbeda untuk jumlah kerugian negara terbesar, Demak menggeser Kendal menjadi yang terbanyak. KP2KKN juga mencatat peringkat instansi pemerintah yang menanggung beban kasus korupsi. Hasilnya masih sama dengan tahun lalu. Lembaga eksekutif menjadi jawara (pemerintah daerah) pertama, pemerintah desa (kedua), disusul legislatif (DPRD). Yang menarik, Dinas P dan K berada di bawahnya sebagai dinas dengan kasus korupsi terbanyak dengan persoalan utama kasus buku ajar yang merata di berbagai daerah.Sedangkan instansi yang paling banyak merugikan negara adalah DPRD. Instansi ini dinilai paling kotor. Anggota dewan sangat familiar melakukan praktik korupsi yang merugikan negara senilai Rp 297,8 miliar.

Menurut Joko, penanganan hukum kasus-kasus korupsi yang bertumpu pada tiga lembaga: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan KPK, hingga kini masih menyedihkan. Banyaknya kasus yang mangkrak juga menjadi indikasi kinerja aparat hukum masih lemah. Dari 324 kasus korupsi di Jateng, 27 di antaranya macet di kejaksaan, 27 kasus tak tahu rimbanya di tangan kepolisian, dan hanya 52 kasus yang sudah sampai pengadilan. "Tentu ini preseden buruk mengingat sebagian besar kasus tersebut terjadi pada 2004-2005 yang berarti sudah 4 tahun prosesnya berlarut-larit tanpa kejelasan," sambung Koordinator Divisi Pengaduan Masyarakat KP2KKN Eko Haryanto.

Ditambahkan, banyaknya putusan bebas dan kasus macet terjadi di daerah yang tingkat kontrol masyarakatnya rendah karena minim akademisi dan sorotan media.Sementara itu, masih terkait korupsi, kemarin, puluhan mahasiwa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiwa Jawa Tengah (AMJ) berunjukrasa di depan Kejati Jateng di Jalan Pahlawan. Massa bergerak dari videotron. Mereka melakukan orasi sebelum beringsut menggeruduk kejati.Isu utama yang diangkat pengunjukrasa menolak pemimpin bermasalah dalam pilgub Jateng. Koordinator lapangan Yana Sukmaya mengatakan, kasus-kasus dark number yang melibatkan sejumlah nama penting yang sekarang mencalonkan diri dalam pilgub Jateng harus diusut tuntas. "Kami mengajak seluruh masyarakat Jateng untuk aktif memberantas korupsi dan tidak memilih pemimpin yang masuk daftar hitam," teriaknya.

Menurutnya, situasi Indonesia sekarang sudah memasuki siaga I karena banyaknya kasus korupsi yang tak terselesaikan. Untuk itu, AMJ mendesak SBY-JK mempermudah birokrasi demi kelancaran pengusutan pejabat korup.Di Kejati Jateng, massa diterima Kasie Produksi Sarana Intel (Prosarin) Danang Purwoko. Danang menyatakan menerima aspirasi mahasiswa dan akan menindaklanjuti segala tuntutan. Namun mahasiswa yang tidak puas balik menyerang dengan menanyakan kelanjutan proses hukum untuk beberapa kasus yang melibatkan kepala daerah di Jateng. Menanggapi hal itu, Danang menjawab bahwa semua kasus tersebut sudah dalam proses penyelidikan, sembari mengingatkan bahwa menuntaskannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun di luar dugaan, massa aksi membalas dengan teriakan koor "huuu…!"Presiden BEM Undip Budi Setiawan menyahut dengan berseru kalau kasus-kasus tersebut telah empat tahun berselang. "Kalau tidak becus, kami minta kasus-kasus mangkrak tersebut lebih baik ditangani KPK saja. Setuju kawan-kawan?!"

Mengakhiri aksinya, AMJ melakukan simbolisasi penghancuran koruptor dengan membakar kotak bertuliskan kotak harta hasil korupsi para pejabat korup. Pembakaran juga dilakukan pada salah satu poster bertuliskan nama-nama pejabat negara yang tersangkut kasus korupsi. Di tengah-tengah pembakaran, salah satu peserta aksi berteriak, "Demikianlah seharusnya Kejati memperlakukan koruptor. Bakar!" AMJ mengingatkan, kasus-kasus mangkrak tersebut harus sudah ada kejelasan paling tidak satu bulan dari sekarang. Jika masih tidak ada keseriusan kejati, mereka berjanji akan datang lagi dengan massa yang lebih besar. [Sumber : Jawa Pos, 11 Desember 2007]

Dugaan Korupsi APBD 2004 Agar Diusut

BOYOLALI - Belasan orang yang tergabung dalam Serikat Tani Merdeka (Setam) yang berasal dari Juwangi, Karanggede, dan Kemusu, Senin (10/12), menggelar aksi unjukrasa mendesak agar dugaan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Boyolali 2004 segera diusut tuntas. Ketua Setam Cabang Boyolali Suparno dalam pernyataan sikapnya mendesak aparat kepolisian Polres Boyolali untuk lebih serius memberantas korupsi terutama terhadap kasus dugaan korupsi APBD 2004.“Polres harus mempercepat proses penyidikan dugaan kasus korupsi APBD 2004 tentang pengadaan buku ajar oleh Balai Pustaka,” ujarnya.

Setam juga menyerukan agar Kapolres Boyolali untuk lebih ketat dalam melakukan pengawasan, terutama terhadap struktur internal yang berada dalam Polres sebagai langkah menciptakan lembaga kepolisian yang bersih, jujur, serta profesional dalam menjalankan tugas memberantas korupsi. Dalam aksi yang dimulai dari halaman Mapolres Boyolali, massa Setam dengan membentangkan spanduk bertulisan desakan kepada aparat penegak hukum untuk terus melawan praktik korupsi yang terjadi di Boyolali melanjutkan unjuk rasa di Pengadilan Negeri (PN) Boyolali.

Kepada jajaran PN Boyolali, Setam meminta untuk lebih transparan dalam masalah keuangan, sehingga masyarakat luas mengetahui ada atau tidak pungutan di luar dana yang sudah ditetapkan.Sasaran para aktivis selanjutnya adalah kantor Kejaksaan Negeri (Kejari). Kepala Kejari Agustini MD mengimbau pengunjukrasa agar tidak hanya menyampaikan aspirasi saja, namun juga ikut membantu dalam memberikan data yang valid untuk memberantas korupsi. “Kami tidak bisa bekerja sendiri untuk memberantas korupsi. Semua pihak harus ikut membantu dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemberantasan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme),” ujarnya. Menanggapi permintaan itu Koordinator Lapangan (Korlap) Setam Eko Cuntesa menyatakan bahwa aksi yang dilakukan merupakan wujud keprihatinan. [Sumber : Harian Joglo Semar, 11 Desember 2007]

Korupsi APBD di Jateng Capai Rp245,1 Miliar

SEMARANG - Tindak pidana korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di kabupaten/kota di Jawa Tengah selama tahun 2007 terdapat 55 kasus dan mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp245,1 miliar. Divisi Penelitian dan Monitoring Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Joko J. Prihatmoko di Semarang, Selasa, mengatakan, dari 55 kasus tersebut terbanyak ada di Kabupaten Batang (7 kasus) sebesar Rp9,09 miliar.

Kemudian diikuti, Kota Semarang (3 kasus) mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp7,93 miliar dan Surakarta (juga 3 kasus) senilai Rp4,27 miliar. Sementara daerah seperti Banyumas, Blora, Brebes, Cilacap, Demak, Karanganyar, Kebumen, Kendal, Kudus, Purworejo, Salatiga, Provinsi Jateng, Sukoharjo, dan Kabupaten Semarang masing-masing dua kasus.

Meskipun hanya dua kasus, tetapi Kabupaten Kendal menempati peringkat pertama dalam jumlah dana APBD yang dikorupsi, yaitu sebesar Rp55,3 miliar, diikuti Kudus Rp22,9 miliar, Karanganyar Rp18,9 miliar, Provinsi Jawa Tengah Rp14,8 miliar, Sukoharjo Rp12,24 miliar, dan Grobogan Rp10,1 miliar. Selain itu, KP2KKN Jateng juga menemukan keterlibatan anggota DPRD dan kepala daerah dalam tindak pidana korupsi selama ini.

Ia menyebutkan, dari 147 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan telah melibatkan 217 anggota DPRD periode 1999-2004. Yang paling banyak adalah Kota Surakarta (36 orang), Sragen (27 orang), Banyumas (21), Kota Semarang (20), Kabupaten Wonogiri (16), Provinsi Jateng (14 orang), Kabupaten Karanganyar (9), Rembang dan Kudus (masing-masing 8 orang). Kabupaten Pekalongan dan Boyolali (masing-masing 7), Pati (6), Kpta Magelang dan Blora (masing-masing 5 orang), dan lain sebagainya.

Selain melibatkan 217 anggota dewan periode sebelumnya, kasus korupsi di juga melibatkan 28 kepala daerah, yaitu Bupati Batang, Bupati Banjarnegara, Wakil Bupati Banyumas, mantan Bupati Boyolali, Bupati Blora, mantan Bupati Demak, Bupati Demak, Bupati Jepara, Wakil Bupati Karanganyar, Bupati Kendal, mantan Bupati Kendal, Bupati Kudus, Bupati Semarang, dan lain sebagainya.

Ketika ditanya berapa uang negara yang telah dikembalikan akibat tindak korupsi yang terjadi di wilayah Jawa Tengah, dia mengatakan, sampai kini belum diketahui datanya karena kejaksaan dinilai kurang transparan soal ini. "Kami sudah berkali-kali minta data kepada kejaksaan tetapi tidak diberi. Kami tetap akan meminta data soal uang negara yang dikorupsi kemudian dikembalikan ke negara," katanya. [Sumber : Kapan Lagi Dotcom, 11 Desember 2007]

08 Desember 2007

KPK Ambil Alih Kasus Korupsi di Sukoharjo,

SUKOHARJO - Penanganan sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan para pejabat di Kabupaten Sukoharjo dinilai sudah memenuhi persyaratan untuk diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun KPK tetap membutuhkan waktu serta penelitian mendalam terhadap kasus tersebut.

Pasalnya, saat ini ada sekitar 22.400 aduan yang masuk ke KPK untuk ditangani. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (P2M) KPK Eko Tjiptiadi ketika ditemui seusai dialog publik di Gedung Pertemuan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Sukoharjo, Sabtu (8/12), mengatakan ada beberapa kriteria bagi kasus dugaan korupsi yang bisa diambil alih KPK.

"Kriteria itu antara lain penanganannya berlarut-larut, menimbulkan keresahan di dalam kehidupan masyarakat dan diduga ada tindak pidana korupsi selama penanganan kasus korupsi tersebut," tegas Eko. Di sisi lain, jika penanganan kasus dugaan korupsi di Sukoharjo diambil alih KPK, belum menjamin penyelesaian akan berlangsung cepat. "Sekali lagi ada sekian banyak aduan kasus serupa dan menurut saya dalam setahun KPK hanya mampu menyidangkan sekitar 35 kasus saja," katanya. [Sumber : Solo Pos, 8 Desember 2007]

06 Desember 2007

Maarif Institut Boyolali Protes : Seragam PNS Rp 9 M, Rakyat Miskin Rp 10 M

BOYOLALI - Dinilai tidak pro rakyat miskin, hasil pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) antara DPRD dengan Bupati yang akan dijadikan kesepakatan landasan penyusunan RAPBD menjadi APBD Boyolali 2008, Maarif Institut Boyolali memrotes sekaligus mendesak Bupati dan DPRD Boyolali segera meninjau kembali kesepakatan tersebut. ”Hal itu karena sesuai dengan Permendagri 30 tahun 2007 tentang pedoman penyusunan APBD 2008 Pemerintah daerah harus memprioritaskan pengurangan kemiskinan sebagai prioritas pertama. Namun bila dilihat dari kesepakatan dalam KUA-PPAS di Boyolali justru pos-pos kegiatan penanggulangan kemiskinan mengalami penurunan,” kata koordinator Maarif Institut Boyolali, Sarbini, kepada wartawan di Pemkab Boyolali, Selasa (4/12).

Menurut dia, seperti program kegiatan bea siswa bagi keluarga kurang mampu (miskin), beasiswa retrivel, bea siswa transisi yang tahun 2007 mencapai 4,5 Miliar, namun untuk tahun 2008 justru menurun kurang dari Rp 3 Miliar. Begitu juga sektor kesehatan pada kegiatan pengembangan puskesmas sebagai public society center Rumah Tangga Miskin (RTM) juga mengalami penurunan khususnya pada perbekalan obat yang tahun ini hanya sekitar 1 Miliar. ”Padahal masyarakat miskin sekarang kecenderungannya menggunakan jasa layanan di puskesmas yang dilakukan secara gratis tersebut,” tambah Sarbini.

Dikatakan, meski kedua dinas (Dinas Kesehatan Sosial dan Dinas Pendidikan Nasional) mengalami kenaikan Plafon anggaran sementara, namun ternyata masih banyak kegiatan yang justru hanya memperkaya pegawai saja. Satu contoh, tambah dia, kegiatan monitoring di lingkungan Diknas dalam PPAS mencapai 500 Juta serta masih adanya kegiatan yang sangat tidak masuk akal sejak 5 tahun lalu yang selalu menganggarkan kegiatan pembuatan data base menyedot dana cukup banyak. Begitu juga alat-alat kantor yang tidak masuk akal. Menurut hitungan Maarif institut, tambah Sarbini yang juga koordinator Masyarakat Anti Korupsi (Marak) sebagai acuan RAPBD Boyolali, KUA PPAS tidak mencerminkan pro-poor budget sebagaimana yang di amanatkan dalam Permendagri 30 tahun 2007 yang sekaligus juga sebagai implementasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Boyolali.

”Hitungan angka yang kami temukan, terlihat bahwa anggaran yang langsung menjangkau rakyat miskin kurang dari 10 Miliar, ini sangat menyakitkan hak-hak rakyat miskin. Sebab di sisi lain anggaran pengadaan seragam bagi PNS mencapai 9 Miliar kemudian pengadaan mobil dinas juga terus bertambah,” tambah dia. Belum lagi kenaikan gaji pegawai yang juga dianggarkan sangat besar. ”Kita menyadari APBD tahun 2008 terbebani oleh kenaikan gaji pegawai yang mencapai kurang lebih 50 M, belum gaji CPNS yang baru tidak sebanding dengan kenaikan DAU, namun hal itu bukan alasan untuk memangkas program pemberantasan kemiskinan di Boyolali,” katanya pula.

Terkait dengan masalah itu, sambung Sarbini Maarif institute mendesak kepada Bupati dan DPRD, khususnya tim anggaran daerah (TAD) untuk mengkaji kembali angka-angka dalam KUA-PPAS yang telah di sepakati agar anggaran APBD tahun 2008 sekaligus memperhatikan hak-hak masyarakat miskin yang telah menyumbangkan retribusi terbesar di Boyolali. Kemudian juga, harus meninjau ulang kegiatan operasional pegawai yang tidak masuk akal, seperti kegiatan monitoring dan pendataan yang memakan dana sangat besar. Selain itu, juga belanja modal yang rasional seperti di Diknas Boyolali. ”Mosok untuk kegiatan lomba mata pelajaran di tingkat, TK, SD, SMP, SMA, penularan mencapai 1,2 Miliar. Begitu masih ada satu dinas yang setiap kegiatan menganggarkan Laptop dan LCD sampai 25 juta,” katanya. [Sumber : Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 2007]

11 November 2007

Korupsi APBD di Jateng Capai Rp245,1 Miliar

SEMARANG - Tindak pidana korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di kabupaten/kota di Jawa Tengah selama tahun 2007 terdapat 55 kasus dan mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp245,1 miliar.

Divisi Penelitian dan Monitoring Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Joko J. Prihatmoko di Semarang, Selasa, mengatakan, dari 55 kasus tersebut terbanyak ada di Kabupaten Batang (7 kasus) sebesar Rp9,09 miliar.

Kemudian diikuti, Kota Semarang (3 kasus) mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp7,93 miliar dan Surakarta (juga 3 kasus) senilai Rp4,27 miliar. Sementara daerah seperti Banyumas, Blora, Brebes, Cilacap, Demak, Karanganyar, Kebumen, Kendal, Kudus, Purworejo, Salatiga, Provinsi Jateng, Sukoharjo, dan Kabupaten Semarang masing-masing dua kasus.

Meskipun hanya dua kasus, tetapi Kabupaten Kendal menempati peringkat pertama dalam jumlah dana APBD yang dikorupsi, yaitu sebesar Rp55,3 miliar, diikuti Kudus Rp22,9 miliar, Karanganyar Rp18,9 miliar, Provinsi Jawa Tengah Rp14,8 miliar, Sukoharjo Rp12,24 miliar, dan Grobogan Rp10,1 miliar.

Selain itu, KP2KKN Jateng juga menemukan keterlibatan anggota DPRD dan kepala daerah dalam tindak pidana korupsi selama ini.

Ia menyebutkan, dari 147 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan telah melibatkan 217 anggota DPRD periode 1999-2004. Yang paling banyak adalah Kota Surakarta (36 orang), Sragen (27 orang), Banyumas (21), Kota Semarang (20), Kabupaten Wonogiri (16), Provinsi Jateng (14 orang), Kabupaten Karanganyar (9), Rembang dan Kudus (masing-masing 8 orang).

Kabupaten Pekalongan dan Boyolali (masing-masing 7), Pati (6), Kpta Magelang dan Blora (masing-masing 5 orang), dan lain sebagainya.

Selain melibatkan 217 anggota dewan periode sebelumnya, kasus korupsi di juga melibatkan 28 kepala daerah, yaitu Bupati Batang, Bupati Banjarnegara, Wakil Bupati Banyumas, mantan Bupati Boyolali, Bupati Blora, mantan Bupati Demak, Bupati Demak, Bupati Jepara, Wakil Bupati Karanganyar, Bupati Kendal, mantan Bupati Kendal, Bupati Kudus, Bupati Semarang, dan lain sebagainya.

Ketika ditanya berapa uang negara yang telah dikembalikan akibat tindak korupsi yang terjadi di wilayah Jawa Tengah, dia mengatakan, sampai kini belum diketahui datanya karena kejaksaan dinilai kurang transparan soal ini.

"Kami sudah berkali-kali minta data kepada kejaksaan tetapi tidak diberi. Kami tetap akan meminta data soal uang negara yang dikorupsi kemudian dikembalikan ke negara," katanya.

25 September 2007

Tersangka Korupsi Bantuan Tsunami Jawa Tengah Diperiksa KPK

SEMARANG - Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan perahu dan alat bantu lain bagi korban tsunami di Cilacap, Jawa Tengah, Hari Purnomo, kembali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa.

Namun, pejabat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah ini tidak bersedia memberi keterangan. "Saya sedang puasa jadi saya lupa," katanya. Hari diperiksa sejak pukul 11 hingga 15.30. Komisi menyita rumah Hari di Tambakharjo, Semarang.

Kepala Seksi Produksi Penangkapan Ikan DKP Jawa Tengah, Margaretha Elisabeth Totuarima, turut menjadi tersangka kasus ini. Sebagai pimpinan proyek, ia diduga erekayasa proses tender sehingga memenangkan rekanan tertentu. KPK memperkirakan kerugian negara Rp 7 miliar. [Sumber : Tempo Interaktif, 25 September 2007]

14 September 2007

Mantan Kepala Dinkes Banyumas Dituntut 22 Bulan

BANYUMAS - Mantan Kepala Dinas Kesehatan Banyumas Choirul Mufied dituntut hukuman penjara selama 22 bulan. Choirul Mufied adalah terdakwa korupsi dalam kasus pengadaan obat dan alat kesehatan untuk pusat kesehatan masyarakat di Banyumas senilai Rp 6,7 miliar yang telah merugikan negara sebesar Rp 521.573.000. Demikian pembacaan tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum Ansori dalam persidangan kasus korupsi pengadaan obat dan alat kesehatan Dinkes Banyumas untuk tahun anggaran 2002-2003, di Pengadilan Negeri Purwokerto, Kamis (13/9).

Dalam pembacaan tuntutan tersebut, jaksa menegaskan, terdakwa terbukti telah melakukan tindak korupsi secara bersama-sama dan dilakukan berulang-ulang, tetapi terdakwa tidak terbukti secara sah telah melanggar dakwaan primer. Dalam hal ini terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 juncto 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 Ayat 1, jo Pasal 65 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu, jaksa meminta agar Mufied mengembalikan uang hasil korupsi yang telah dipakainya sebesar Rp 36 juta. Kalau terdakwa tidak mengembalikannya secara keseluruhan, aset kekayaannya akan disita.

Kalau aset kekayaannya juga tidak cukup, akan diganti dengan hukuman penjara selama sembilan bulan. Dalam kasus ini, jaksa mengatakan bahwa hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah sebagai seorang pejabat publik seharusnya terdakwa memberikan contoh yang baik kepada bawahannya. Terdakwa juga dinilai menjadi penghambat program pemerintah, yakni pemberantasan korupsi. "Dalam kasus ini terdakwa telah merugikan negara dan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi," kata Ansori.

Sebaliknya, hal-hal yang meringankan terdakwa, menurut jaksa penuntut umum, terdakwa selalu bersikap sopan selama mengikuti persidangan. Hal yang meringankan lainnya, terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggung jawab istri dan anak. "Selain itu, terdakwa yang berprofesi sebagai dokter juga masih diperlukan masyarakat dan sebagian uang hasil korupsi telah dikembalikan sebesar Rp 10 juta," kata Ansori. Menanggapi tuntutan tersebut, pengacara terdakwa Agus Tri Susanto meminta waktu kepada majelis hakim selama dua minggu untuk menyusun pembelaan. Majelis hakim yang diketuai oleh Ari Jiwantara memberikan waktu satu minggu.

08 Agustus 2007

KPK Tetapkan Tersangka Korupsi Dana Bencana Tsunami Cilacap

CILACAP - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi bencana alam tsunami di Cilacap, Jawa Tengah. Juru bicara KPK, Johan Budi SP, di Jakarta, Selasa, mengatakan, dugaan korupsi itu melibatkan seorang pejabat di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Tersangka yang ditetapkan KPK adalah seorang kepala bagian di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemprov, Jawa Tengah, Margaretha Elisabeth Totuarima. Margaretha berperan sebagai pimpinan proyek pengadaan perahu dan alat bantu lain bagi nelayan yang terkena dampak bencana tsunami di wilayah Cilacap, Jawa Tengah.
Dalam pelaksanaannya, tender untuk menentukan pemenang proyek pengadaan perahu itu telah direkayasa untuk memenangkan rekanan tertentu.

Rekanan yang telah ditentukan sebagai pemenang itu pun dalam melaksanakan proyek pengadaan ternyata menyerahkannya kepada pihak ketiga. Proyek dana bantuan bencana alam itu menggunakan anggaran APBN-P 2006 yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemprov Jawa Tengah. Margaretha telah beberapa kali dimintai keterangan oleh KPK, namun sampai saat ini belum ditahan. KPK, menurut Johan, masih menghitung kerugian negara yang ditimbulkan oleh dugaan korupsi dana bencana alam tersebut. [Sumber : Kapan Lagi Dotcom, 8 Agustus 2007]

05 Juli 2007

Pengusutan Korupsi Buku di Boyolali Dinilai Tak Serius

BOYOLALI - Komisi Ombusdman Nasional Perwakilan Jateng-DIY menilai aparat kepolisian tidak serius untuk mengusut dugaan korupsi buku ajar. Hingga kini pengusutan kasus senilai Rp 18,5 miliar di Kabupaten Boyolali itu belum tuntas. ''Kami akui, masalah ini perlu mendapat perhatian serius. Kami juga sudah melakukan pertemuan dengan Polres Boyolali untuk meminta kejelasan penanganan kasus itu,'' ujar Muhadjirin dari tim Ombusdman, Kamis (5/7).

Dijelaskan, dalam pertemuan tersebut, jajaran polres berjani akan segera menuntaskan kasus tersebut. penyelesaian kasus sudah masuk tahap P-19 atau melengkapi berkas. Saat ini tinggal menunggu hasil audit dari BPKP Jateng. Setelah hasil audit turun maka berkas bakal segera dilimpahkan ke Kejaksaan. Polres juga berkilah bahwa mereka hanya bisa menunggu hasil audit.

''Sudah kami tanya katanya kewenangan hanya menunggu saja. Seharusnya aktif menanyakan kalau memang belum tuntas, aneh sekali.'' Seharusnya, imbuh Muhadjirin, Polres bersikap proaktif untuk menanyakan ke BPKP. Apalagi masyarakat sudah tidak sabar untuk melihat penyelesaian kasus secara tuntas. Tujuannya jelas, untuk mengetahui penyebab lambannya proses audit.

Dia justru khawatir nanti gantian BPKP yang dituduh tidak profesional untuk melakukan audit. ''Biar semua menjadi jelas, jangan sampai ada kesan saling lempar tanggungjawab.'' Dijelaskan, di seluruh Jawa Tengah ada 21 kasus dugaan korupsi terkait buku ajar. Sebanyak tujuh kasus sudah selesai diaudit seperti Slawi, Ungaran dan Purworejo. Sebagian lainnya masih dalam proses audit yaitu, Kabupaten Klaten dan Boyolali. Masih ada tiga kasus yang belum diajukan dan tiga kasus lainnya belum jelas nasibnya.

''Sedangkan di dua daerah belum jadi kasus yaitu di Kabupaten Demak dan Pati.'' Disinggung tentang modus operandi yang digunakan sehingga merugikan keuangan negara, dia menyebutkan ada tiga modus. Pertama, dengan cara penunjukan langsung eksekutif kepada satu rekanan meskipun harganya tinggi. Kedua, melakukan mark up anggaran melebihi harga buku di pasaran.

Modus ketiga adalah pemberian fee dari rekanan kepada eksekutif. ''Apapun modusnya, semua harus diusut tuntas karena telah merugikan keuangan negara yang notabene adalah uang rakyat.'' Kapolres Boyolali AKBP Muhari melalui Kasat Reskrim AKP Edhi Sulistyo mengatakan, pihaknya serius guna menuntaskan kasus buku ajar. Dijelaskan, pihaknya sudah menetapkan seorang tersangka, Suparno, mantan Kasubdin TK/SD di Dinas Pendidikan Nasional Boyolali. ''Kami tinggal menunggu hasil audit dari BPKP saja,'' tegasnya. [Sumber : Suara Merdeka Cyber News, 5 Juli 2007]

04 Juli 2007

Dua Kasus Korupsi Mandeg

BOYOLALI - Proses hukum dua kasus tindak pidana korupsi terbesar di Boyolali yang telah ditangani aparat penegak hukum, dinilai mengalami kemadekan (fakum). Dua kasus korupsi itu masing-masing, kasus pengadaan buku pelajaran senilai Rp18,5 miliar dan kasus dugaan korupsi dana APBD 2004 senilai Rp3,5 miliar. Asisten Ombudsman Jateng- DIY, Muhadjirin kemarin mengatakan, sebaiknya kejaksaan dan kepolisian jangan menunda- nunda penanganan kasus tersebut. ”Ada dua kasus korupsi terbesar di Boyolali, yakni dugaan korupsi APBD 2004 senilai Rp3,5 miliar dan pengadaan buku ajar senilai Rp18,5 miliar yang sedang ditangani, namun sampai sekarang tidak jelas penuntasannya,” kata Muhadjirin.

Terkait perkembangan terakhir penanganan kasus tersebut, Komisi Ombudsman Jateng- DIY bersama LSM masingmasing Serikat Tani Merdeka (SeTaM) dan Anti Mafia Peradilan Jawa Tengah,mendatangi Polres Boyolali dan Kejari Boyolali,belum lama ini.Mereka mendesak dilakukan percepatan penanganan kasus tersebut. Komisi Ombudsman dan Serikat Tani Merdeka serta Anti Mafia Peradilan Jateng menduga lambatnya proses penanganan kedua kasus tersebut ada permainan di tingkat kejaksaan maupun BPKP dengan pihak- pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Fasilitator Daerah (FD) Serikat Tani Merdeka, Cuntesa, mendesak agar kejaksaan dan kepolisian bersikap terbuka dan jangan menunda-nunda penanganan kasus tersebut. Sementara itu, Isa Ansori, salah satu anggota DPRD Boyolali yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi dana APBD 2004 tersebut ketika dikonfirmasi menolak memberi keterangan terkait dengan desakan Komisi Ombudsman dan LSM tersebut. [Sumber : Seputar Indonesia, 4 Juli 2007]

25 Juni 2007

Dua Jenis Modus Korupsi di Jawa Tengah

SEMARANG -Modus keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi di Jawa Tengah kebanyakan dua jenis yakni terkait anggaran belanja daerah dan terlibat penyalahgunaan proyek.

Hal itu dikemukakan Staf Divisi Pendidikan dan Jaringan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Jawa Tengah, Muhadjirin, Sabtu (23/6), dalam Diskusi Penanganan Korupsi Bupati/Wali Kota di Jateng yang diselenggarakan Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng di Semarang.

"Misalnya, terlibat persetujuan penganggaran dana untuk pos yang tidak sesuai, menggunakan dana tak tersangka atau menyetujui pos anggaran fiktif," kata Muhadjirin.

Untuk kasus korupsi keterlibatan proyek, kata dia, dilakukan seperti pengadaan buku ajar SD/MI, menggunakan dana instruksi gubernur, pengadaan barang dan jasa, dana bantuan pemilu, terlibat program KUT serta proyek-proyek pembangunan fisik sejenis pasar dan terminal.

Upaya pemberantasan tindak korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum di Jateng sepanjang 1999-2007 ternyata telah menyeret sebanyak 19 bupati dan wali kota. Dari jumlah itu, terdapat sembilan mantan bupati dan wali kota yang telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terpidana. Tiga di antaranya telah dijatuhi hukuman yakni Bupati Temanggung Totok Ary Prabowo, mantan Wali Kota Solo Slamet Suryanto, dan mantan Wali Kota Tegal M Zakir.

Saat ini terdapat 12 kepala daerah yang masih dalam pemeriksaan oleh aparat kejaksaan maupun kepolisian. Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, hasil pendataan menunjukkan ada 36 perkara yang tersebar di 25 kabupaten dan kota di Jateng.

"Ini membutuhkan kerja keras penegak hukum menuntaskannya," kata Muhadjirin. Pembicara lain, praktisi hukum Yudi Kristiana, mengemukakan, realitas pemberantasan korupsi terhadap kepala daerah sering berhadapan dengan pemegang otoritas. Birokrasi penegak hukum yang tak memiliki kemandirian, rawan terhadap intervensi, sehingga perlu strategi tersendiri.

21 Juni 2007

Sidang Korupsi Bupati Semarang Digelar

SEMARANG - Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, mulai menyidangkan kasus korupsi Bupati Semarang Bambang Guritno, Kamis (21/6). Bambang didakwa melakukan tindak pidana korupsi senilai lebih dari Rp 5,8 miliar. Sidang pertama ini digelar dengan penjagaan ketat aparat kepolisian. Penjagaan dilakukan untuk mengantisipasi rencana unjuk rasa dari para pendukung bupati tersebut.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum Patikawa mengatakan Bambang melakukan tindak pidana korupsi dengan upaya penggelembungan harga atau mark up dalam proyek pengadaan buku tahun 2004. Proyek pengadaan buku senilai Rp 2 miliar tersebut digelembungkan menjadi sebesar Rp 5,8 miliar. Bambang juga diduga telah menerima fee sebesar Rp 650 juta dari tiga rekanan proyek tersebut. Selain bupati, korupsi proyek pengadaan buku ini juga diduga melibatkan sejumlah pejabat dan kalangan DPRD. [Sumber : Metro TV Online, 21 Juni 2007]

27 April 2007

Kejari Purwokerto Menduga Ada Korupsi Pengadaan Obat

BANYUMAS - Kejaksaan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (26/4), menahan Khalid Khan dan Khoerul Mufied, masing-masing Kepala Dinas Kesehatan dan mantan pejabat Kepala Dinkes Kabupaten Banyumas. Khalid dan Khoerul ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan kebutuhan dasar obat-obatan dan alat kesehatan sebesar Rp 521 juta lebih, yang berasal dari dana APBD 2002 dan 2004.

Kedua tersangka dibawa ke Rumah Tahanan (Rutan) Banyumas, sekitar 18 kilometer selatan Kota Purwokerto. Penahanan kedua pejabat Dinkes tersebut merupakan tamparan berat bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas karena atasan kedua pejabat itu dinilai gagal membina bawahannya.

Terlebih, pada saat bersamaan Kejari Purwokerto juga menahan Rahmaty Hidayat dan Sumodiharjo, masing-masing Kepala Desa dan Sekretaris Desa Rempoah, Kecamatan Bagturraden, serta Suharno, Kepala Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang.

Ketiga perangkat desa ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. Kepala Desa dan Sekdes Rempoah diduga melakukan tindak pidana korupsi dana pembangunan balai desa sebesar Rp 180 juta.

Sementara Kepala Desa Tinggarjaya ditahan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana bantuan desa, uang pajak bumi dan bangunan (PBB), uang sewa kios milik desa senilai Rp 62 juta.

Proses hukum

Kepala Kejari Purwokerto Uung Abdul Syukur mengatakan penahanan tersangka antara lain didasari pertimbangan untuk mempercepat proses hukum di pengadilan. "Unsur-unsur hukum untuk menahan para tersangka juga sudah terpenuhi," ujar Uung.

Ia menampik menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi di Dinkes Banyumas. "Lihat saja nanti di pengadilan. Kalau mereka mau menyanyi, ya silakan bernyanyi," ucap Uung.

Menurut Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Purwokerto Gatot Guno Sembodo, Khalid dan mantan atasannya diduga melakukan mark-up dana pengadaan kebutuhan dasar (PKD) atau pengadaan obat-obatan yang dialokasikan melalui APBD 2002 dan 2003.

Uang yang diduga dikorupsi oleh kedua tersangka sebesar Rp 521 juta, yang dilakukan secara berurutan dalam dua tahun anggaran, masing- masing Rp 205 juta pada tahun anggaran 2002 dan Rp 316 juta pada tahun 2003, dari nilai kegiatan PKD Rp 3,98 miliar tahun 2002 dan Rp 3,399 miliar untuk tahun anggaran 2003.

Khoerul sebagai mantan atasan Khalid Khan yang antara 2002-2003 menjadi Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sekaligus Pimpinan Kegiatan melakukan mark-up harga 128 jenis obat-obatan sehingga anggaran yang diajukan lebih tinggi dibanding indeks yang sudah tercantum dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 101/2001 sn Nomor 10/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemkab Banyumas. (NTS)